Blog Archive

Selasa, 12 Maret 2013

Ke Mana Semangat Berantas Mafia Sepak Bola Indonesia?


Dok. PSSIPersatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com - Mafia dan pengaturan skor hingga saat ini masih menjadi masalah krusial dalam sepak bola Indonesia. Di balik konflik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang berlarut-larut sesungguhnya ada mafia sepak bola yang masih menjalankan aksinya salah satunya dengan pengaturan skor.

Demikian diucapkan juru bicara Save Our Soccer (SOS), Apung Widadi, dalam diskusi bertajuk "Fair Play is All About Transparency" di Jakarta, Selasa (12/3/2013). Dalam acara tersebut hadir juga perwakilan dari Regional Investigator South East Asia, Sport Data Group, Michael Pride.

Apung mengatakan, langkah Interpol untuk mengungkapkan sindikat pengaturan skor sepak bola secara global harus dijadikan momentum untuk membersihkan Indonesia dari praktik mafia sepak bola. Terlebih jika melihat rekam jejak riwayat mafia sepak bola Indonesia pada beberapa tahun sebelumnya.

"Saat ini sudah ada enam kasus yang sudah mencederai sportivitas sepak bola Indonesia untuk persoalan suap dan pengaturan skor. Potensi bukan hanya di ISL, tetapi juga IPL. Dua liga ini sebenarnya belum steril dari upaya pengaturan skor," ujar Apung.

Apung kembali mencontohkan keenam kasus, salah satunya kasus suap Penajam Medan Jaya (PMJ) kepada anggota Komisi Disiplin PSSI agar bisa bermain di Divisi I pada 2007. Kasus dengan nominal suap senilai Rp 100 juta itu sudah menyeret Togar Manahan Nero (Komdis PSSI), Kaharudin Syah (Wakil Sekjen PSSI), hingga beberapa manajemen PMJ.

"Hukuman itu pun cenderung tidak adil dan minimalis. Tidak ke polisi. Penerima hanya diberhentikan dari PSSI dan pemberi dihukum non aktif selama lima tahun dari PSSI daerah dan sepak bola nasional," kata Apung.

Untuk mengatasi persoalan itu, Apung merekomendasikan agar Indonesia bisa segera meratifikasi Undang-Undang Hukum Suap No.11 tahun 1980 yang dirancang oleh mantan Menteri Kehakiman, Mudjono. Ketika itu, Mudjono sukses membongkar suap 11 pemain PSMS saat Marah Halim Cup 1988 dengan denda Rp 15 juta vonis percobaan.

Menurut Apung, penyelesaian seperti itu sekarang putus dalam dunia sepak bola Indonesia. Salah satu faktornya adalah adanya desain dari para mafia sepak bola karena pemain dan pengurus sendiri terlibat dalam pengaturan skor tersebut.

Michael menambahkan, di Indonesia indikasi praktik pengaturan skor memang masih menjadi kendala umum yang perlu diinvestigasi lebih mendalam. Pasalnya, kata dia, sindikan pengaturan skor tidak hanya menjalankan aksinya untuk satu atau dua pertandingan saja, tetapi biasanya satu kompetisi atau turnamen.

"Kita masih kumpulkan data-datanya. Masalahnya di Indonesia sangat susah menemukan koorperasi yang baik untuk mengatasi masalah ini," kata Michael.

Koordinasi

Kembali dilanjutkan Apung, Indonesia saat ini perlu ada koordinasi antara pihak kepolisian, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk membentuk nota kesepahaman (MoU) mengenai praktik pengaturan skor. Hal itu diperlukan untuk membersihkan mafia dan praktik korupsi dalam sepak bola Indonesia.

Apung menilai Menpora untuk saat ini tidak memikirkan masalah subtansial masalah sepak bola Indonesia, terlepas dari ancaman sanksi FIFA. Menurutnya, langkah-langkah pemerintah saat ini terkesan pendek yang dapat kembali membuka ruang bagi mafia untuk masuk ke ranah sepak bola Indonesia.

"Ada baiknya juga jika KLB besok selain tiga agenda utama dan satu agenda tambahan itu, isu besar pengaturan skor juga dibahas. Atau, jika tidak bisa, setidaknya Menpora bisa mengutarakan hal itu saat dia berbicara nanti. Laporan SOS ini sudah diberikan kepada Menpora dan sekarang kami akan tagih janji beliau," tukasnya.

 

0 komentar:

Posting Komentar