KOMPAS.com/IRFAN MAULLANAI Dewa Gede Budjana
JAKARTA, KOMPAS.COM -- Tak dapat disembunyikan, memori auditif Dewa Budjana muncul di album Joged Kahyangan. Kenangan dengaran akan tembang dan gending pentatonik yang mengendap dalam ruang ingatannya menyusup dalam komposisinya.
Tidak mencolok memang, tetapi pengaruh garis melodi pentatonik itu terasa pada lagu seperti "Dang Hyang Story", "Guru Mandala", "Cloud of Foggy", dan "Joged Kahyangan", yang menjadi judul album. Budjana mengaku secara sadar tidak berpretensi untuk menyusun komposisi dengan garis melodi berasa tembang Bali. "Saya tidak berpikir untuk membuat notasi tradisi, itu lahir alamiah saja," kata Budjana.
Gagasan yang mendasari lahirnya komposisi memang membawa Budjana kembali ke atmosfer Bali. "Guru Mandala", misalnya, berangkat dari gagasan untuk menggambarkan tanaman lotus atau teratai yang dipandang Budjana sebagai simbol kekuatan yang bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tanah berlumpur seperti teratai.
Budjana kemudian menyodorkan karya-karyanya kepada musisi kondang Peter Erskine (drum), Bob Mintzer (Tenor saksofon, klarinet, bas klarinet), Jimmy Johnson (bas elektrik), Larry Goldings (piano/organ), dan Janis Siegel (vokal). Album direkam di Firehouse Recording Studio, Pasadena, California, Amerika Serikat, pada 7 Juni 2012. Terlibatnya musisi jazz itu merupakan pilihan sadar, bukan cara gagah-gagahan.
"Saya ingin notasi lokal itu dimainkan musisi sana, dimainkan dengan instrumen Barat. Kalau dimainkan dengan suling, mungkin itu akan terdengar Bali banget," kata Budjana.
Hasilnya, meski yang memainkan adalah musisi tanpa referensi kenangan masa lalu Budjana, asupan nuansa Bali tetap terasa meski tidak sangat mencolok telinga.
Spontan, menantang
Seniman pendukung Joged Kahyangan adalah musisi profesional dengan jam terbang tinggi di jagat jazz. Bob Mintzer (60) adalah saksofonis dedengkot band Yellow Jackets dan memimpin big band jazz. Peters Erskine (58), drumer yang pernah mendukung band jazz fusion legendaris Weather Report dan beberapa kali menerima Grammy.
Mereka membaca dan menginterpretasi komposisi Budjana, tanpa referensi sosio-kultural yang melingkupi Budjana. Mereka memainkan karya Budjana dengan pengalaman estetis masing-masing seniman, termasuk dengan improvisasi spontan dan personal. Namun, jiwa musik tetap bertumpu pada komposisi Budjana dengan segala pengaruh rasa yang ia bawa dari tanah airnya.
"Saya cuma kasih notasi. Mereka main berdasarkan apa yang mereka baca dan dari apa yang kami masing-masing dengar dan rasa," kata Budjana.
Proses rekaman Joged Kahyangan lebih mengutamakan spontanitas, orisinalitas dari suasana batin seniman pada saat rekaman berlangsung. Lebih banyak live, bukan rekaman berlapis-lapis (overdub). Seniman jazz sangat menghargai apa yang disebut spirit of the moment, gejolak emosi, jiwa yang muncul saat rekaman berlangsung. Yang kemudian terekam adalah rasa dan bukan sekadar suara. Rasa itulah yang menjelma ke dalam materi auditif yang kemudian sampai ke telinga penikmat. "Jadi, apa yang terjadi saat main, ya itulah hasilnya," kata Budjana.
Hasilnya memang suatu kesegaran rasa. Notasi yang kata Budjana itu adalah rasa tradisi itu diletakkan dalam harmoni chord jazz. Bob Mintzer, seperti dituturkan Budjana, merasa mendapat tantangan ketika memainkan komposisi dengan notasi yang termasuk jarang ia mainkan.
"It was challenging and interesting music," kata Bob Mintzer dalam e-mail-nya kepada Budjana.
Di antara GIGI
Album Joged Kahyangan merupakan album ke-6 Budjana sebagai seniman gitar, di luar band GIGI. Sebelumnya ia membuat Dawai in Paradise, yang beredar awal tahun 2012 lewat DeMajors dan kemudian dirilis Moonjune Records pada Maret 2013. Jauh sebelumnya Budjana membuat album Home (2006), Samsara (2003), Gitarku (2000), dan Nusa Damai (1997).
Joged Kahyangan menegaskan sikap kreatif Budjana yang tidak menyekat-nyekat ruang kreatif. Di satu sisi dia adalah gitaris GIGI, band pop-rock dengan jadwal tur dan manggung yang cukup ketat. Di sisi lain, sebagai pribadi, dia juga mempunyai wilayah kreatif untuk musik yang tidak terakomodasikan di dalam GIGI. Budjana bisa memilah secara bijak dan menjalani laku kreatif yang tidak diskriminatif.
"Di waktu sela, di antara jadwal tur (GIGI) itu saya tetap coba-coba menulis lagu. Entah itu di hotel atau bahkan lebih sering di pesawat. Ini saya anggap sebagai balance, penyeimbang saja," kata Budjana.
Dalam berkarya, dia tidak mempertimbangkan situasi pasar, apakah sedang anjlok atau ramai. Berhenti berkarya hanya karena situasi pasar, bagi Budjana, bukan sikap seorang seniman.
"Sebagai seniman, saya harus bergerak. Itu terapi terpenting. Makanya saya enggak mikir orang jualan CD lagi susah. Saya cuek saja," katanya. (XAR)
0 komentar:
Posting Komentar