KOMPAS.com - Salah satu profesi yang luput dari perhatian di bidang industri musik adalah audio engineer. Ini bukan teknisi semata, ia lebih menjadi ”sutradara” dari hiruk-pikuk musik yang dihasilkan musisi dan artis.
Kini, masih sulit mencari ahli yang mendalami pekerjaannya di bidang besut-membesut audio musik, mixing, mastering, dan recording dengan karakter yang kuat. Walau banyak perangkat lunak beredar untuk mempermudah mendalami audio, jumlah profesional yang tersertifikasi masih minim.
Data SSR Jakarta, sebuah sekolah untuk peminat audio dan produksi film menyebutkan, jumlah pekerja audio di Indonesia yang bersertifikat Pro Tools hanya tiga orang. Pro Tools adalah perangkat lunak yang dominan dan hampir menjadi standar kerja industri audio.
Padahal, pasar yang membutuhkan terbentang luas, bukan hanya audio untuk musik, melainkan juga dunia film dan televisi. Singapura saja memiliki 10 profesional bersertifikat, sedangkan Malaysia 12 orang dan Australia lebih dari 50 orang.
Mulai menggeliat
Seiring perkembangan industri musik, yang dibarengi geliat teknologi digital, sekolah khusus untuk hal-hal seperti itu semakin bermunculan. Wajah-wajah muda makin banyak yang berani mengambil minat khusus ini.
Di Jakarta, training atau workshop singkat untuk mendalami audio mulai dikunjungi peminat. Seperti ketika SSR Jakarta menggelar workshop ”Music Creation With ProTools” pada Maret lalu, kelas yang diampu spesialis Pro Tools, Takeshi Mitsuhashi, ini dipenuhi para peminat.
Mengapa digitalisasi ikut menyumbang tumbuhnya minat-minat khusus ini?
Pada zaman serba digital, kreativitas menjadi tanpa batas dengan kemasan yang lebih sederhana. Semua orang dengan talenta yang dimilikinya bisa unjuk kemampuan tanpa harus melewati prosedur bertele-tele. Hal seperti itu terjadi termasuk di bidang produksi musik.
Musisi, bahkan penggemar di bidang musik, bisa membuat karya seninya di komputer desktop atau di studio rumah. Tak harus di studio besar, dominasi pemodal besar pun bisa terpatahkan.
Contoh lagu monumental yang dianggap titik balik pembuktian teknologi digital adalah Livin’ La Vida Loca, yang dipopulerkan Ricky Martin. Lagu ini menjadi nomine Grammy Awards sebagai rekaman dan lagu terbaik.
Munculnya lagu ini turut memopulerkan teknologi olah digital audio. Penyebabnya, lagu inilah yang pertama kali di Amerika Serikat diproduksi tanpa menggunakan perlengkapan studio rekaman konvensional.
Orang di balik suksesnya rekaman lagu itu adalah Draco Rosa dan Desmond Child. Mereka menggunakan perangkat komputer dengan teknologi rekaman menggunakan Pro Tools.
Perangkat Pro Tools didesain untuk para profesional di bidang audio, tetapi antarmuka yang ramah membuat perangkat kerja mudah digunakan. ”Pro Tools bersifat nondestruktif. Jadi, audio yang telah disunting tak akan menghapus audio asli yang direkam,” kata Declan Curtis, pengajar Audio Engineering dan Film Production SSR Jakarta.
Dampaknya, cara kerja sunting audio menjadi lebih cepat dan murah. Audio bisa disunting secara cepat dan selektif, kesalahan salah satu unsur audio tak perlu mengulang rekaman.
Dalam sekejap?
Dengan perkembangan teknologi, mengaransemen musik, mixing, atau rekaman kini tak harus dilakukan di studio skala industri besar. Di rumah atau di studio kecil pun, seseorang dengan modal pengetahuan yang cukup bisa menghasilkan karya yang tak kalah kualitas.
Jadi, dengan sumber daya yang dimiliki teknologi modern yang ada, mungkinkah seseorang bisa menjadi musisi atau audio engineer alias ahli rekaman yang mumpuni dalam sekejap? Aha... jawabannya tetap tidak bisa!
Proses menjadi musisi atau yang lebih khusus lagi audio engineer atau recording engineer bukanlah mudah. Tak cukup berbekal minat, modal, dan peralatan. Butuh talenta, mental, dan keutuhan tekad. Walau kata engineer terasa teknis, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan ”tukang”.
”Tetap butuh dasar-dasar pengetahuan bermusik yang cukup, misalnya, tahu bagaimana musik rock itu, jazz itu seperti apa, pop itu bagaimana,” kata Zaldy Januar, recording engineer dari Up Beat Studio yang ditemui di SSR Jakarta.
Perangkat olah digital hanyalah alat semata, hasil akhir tetaplah di tangan penyunting. ”Untuk sunting audio, saya biasa menggunakan Cubase dan Pro Tools. Dua peralatan ini sudah lama dikenal di industri musik,” kata Zaldy.
Menjadi audio engineer atau recording engineer bukanlah cara kita menunjukkan jati diri. Justru dua pekerjaan itu menuntut kita menjadi bunglon, begitu kata Zaldy.
”Kita dituntut bisa jadi bunglon yang baik, artinya kita harus menuruti kemauan klien. Misalnya, walau kita suka jazz, klien meminta rock, ya kita harus konsentrasi ke rock,” ujar Zaldy.
Peralatan perangkat lunak itu sudah seperti partner dalam bekerja. ”Jika tak menggunakan perangkat lunak yang biasa kita pakai, rasanya kita seperti kehilangan. Tapi, sepanjang kita sudah menguasai berbagai teknik dasarnya, menggunakan tools apa saja tak masalah,” kata Zaldy.
Saat ini, audio engineer dan recording engineer yang punya karakter dan bisa jadi bunglon yang baik masih sedikit ditemukan. Persoalan audio engineer tak hanya menarik praktisi di bidangnya. Pencinta musik dan film juga banyak yang mulai melirik pengetahuan ini.
Achmad Fauzi, kontributor Korean Broadcasting System (KBS) di Indonesia, mengaku semula tak tahu-menahu soal Pro Tools. Namun karena dia sering membuat iklan, seluk-beluk audio ini menjadi menarik bagi dia. ”Mau tak mau, karya iklan harus berurusan dengan pengetahuan audio yang baik, akhirnya saya tertarik dengan Pro Tools ini,” kata Achmad.
Bagi pemula yang baru coba-coba belajar audio, Pro Tools memang perangkat lunak yang tidak murah. Selain Pro Tools, bagi yang ingin coba-coba bisa mencari jalan lain, yaitu dengan berburu perangkat lunak olah digital audio gratis.
Beberapa perangkat lunak gratis itu di antaranya Audacity, Ardour, Free Audio Editor, Aviary, LinuxSampler, Wavosaur, Myna, Free Audio Dub, dan AudioTool. Masih kurang? Ok, bisa langsung cek situs yang memuat berbagai alternatif sunting audio di alternativeto.net/software. (Amir Sodikin)