AFP PHOTO/ODD ANDERSENOrang-orang berjalan di depan papan iklan laga final Liga Champions di Muenchen, Kamis (17/5/2012). Bayern Muenchen akan menjamu Chelsea dalam perebutan gelar Liga Champions di Muenchen, Sabtu (19/5/2012).
KOMPAS.com - Laga final Liga Champions musim ini antara Chelsea dan Bayern Muenchen dilatarbelakangi sejarah panjang rivalitas negara kedua klub dalam sepak bola. Selain itu, sejarah juga mencatat kenangan pahit dalam rivalitas politik dan militer.
Sejarah baru
Kini dua seteru itu seakan dipertemukan kembali secara dramatis. Ketika semifinal mempertemukan Bayern dan Chelsea masing-masing dengan duo klub raksasa andalan Spanyol, Barcelona dan Real Madrid, tak sedikit publik bola dunia sebelumnya memprediksi bahwa "El Clasico" Barca dan Madrid adalah partai yang pantas untuk menghiasi laga terakhir perhelatan akbar Liga Champions musim ini.
Namun, takdir berkata lain. Jutaan pasang mata pecinta bola menjadi saksi kegemilangan Fernando Torres dan kawan-kawan ketika menjungkalkan tim terbaik di Eropa saat ini, Barcelona di babak semifinal. Begitupun dengan Frank Riberry dan kawan-kawan yang sukses membuat sejumlah bintang "Los Blancos" sakit hati lewat drama adu penalti. Kini kedua klub itu menatap rekor baru di belantara Eropa dengan rivalitas yang menggelora.
Bagi Bayern, jika mampu menang dan juara, mereka akan menjadi tim pertama yang menjuarai Liga Champions di kandang sendiri. Sebelum berubah nama dan format pada 1992, baru dua klub yang mampu menjuarai Piala Eropa di kandang sendiri, yakni Real Madrid (1957) dan Inter Milan. Tim terakhir yang tampil di kandang sendiri, AS Roma kalah dari Liverpool lewat adu penalti pada 1984.
Sementara itu, Chelsea berpeluang menorehkan namanya dalam daftar pemenang turnamen ini untuk kali pertama. Sepanjang sejarah klub asal London ini berdiri, hanya satu kali mereka mencicipi atmosfer partai final, yaitu pada tahun 2008. Itu pun, Didier Drogba cs, harus mengakui keunggulan rival satu negaranya, Manchester United, dalam adu penalti yang berakhir 6-5 usai waktu normal berakhir imbang 1-1.
Tak ada jaminan
Kini, kedua klub tersebut akan bertemu di bawah kemilau lampu Fussball Arena. Chelsea memang memiliki statistik lebih bagus, karena mampu memenangkan satu-satunya laga pertemuan terakhir mereka pada perempat final Liga Champions 2005 dengan agregat 6-5. Akan tetapi, Arjen Robben dan kawan-kawan tentunya mempunyai motivasi lebih besar, karena bermain di kandang sendiri.
Namun, itu bukan jaminan. Kedua klub memiliki kendalanya masing-masing. Chelsea harus kehilangan dua bek andalannya, John Terry dan Branislav Ivanovic karena akumulasi kartu, serta duo gelandang Raul Meireles dan Ramires yang masih cedera.
Bayern setali tiga uang. Pasukan Jupp Heynckes itu juga kehilangan David Alaba, Luiz Gustavo, dan Holger Badstuber karena skorsing. Pemain bintang, Bastian Schweinsteiger juga diragukan kesiapannya tampil dalam laga ini karena cedera.
Tetapi, sejatinya sepak bola bukanlah rumus fisika. Ribuan pertandingan besar maupun kecil pernah menjadi bukti tuah kehebatan olahraga tertua di dunia itu. Tak ada yang bisa diprediksi hingga peluit panjang dibunyikan pimpinan lapangan. Karena itu, rasanya hanya satu yang ada di benak seluruh penggawa Bayern dan Chelsea, yaitu siap mati demi meraih kemenangan.
Boleh saja, ribuan pendukung Chelsea telah menyiapkan pesta di kota London. Begitu pula, dengan keyakinan besar pecinta Bayern yang siap membanjiri Kota Muenchen pada malam nanti. Namun, ratusan juta pasang mata mereka lebih dulu akan tertuju ke Fussball Arena, stadion megah yang akan menjadi saksi bisu para juara memainkan permainan indah untuk merajut kebesaran sejarah negara mereka.
(Tamat)
0 komentar:
Posting Komentar