Blog Archive

Minggu, 26 Mei 2013

Bersiasat Saat Industri Musik Sulit

JAKARTA, KOMPAS.com -- Seiring penjualan album yang mengering, gemerlap panggung menjadi oase bagi pelaku industri musik di Tanah Air. Kendati begitu, panggung tak selalu mudah dijamah. Beragam strategi pun ditempuh untuk berkelit dari situasi sulit. "Ingin ku mengejar seribu bayangmu namun apa daya tangan tak sampai memang benar apa kata pepatah kalau jodoh tak lari kemana...."

Bagi Anda yang tumbuh dewasa di era 1980-an, mungkin tak asing dengan penggalan syair lagu cinta di atas. Ya, itulah lagu "Oh Ya" yang dulu populer dibawakan 2D. Senin (6/5) siang itu, lagu tersebut dibawakan dengan aransemen yang berbeda oleh grup vokal pendatang baru, Sparkling. Lagu ini juga menjadi salah satu lagu andalan di album baru grup yang terdiri atas empat gadis remaja peserta Festival Vocal Group Indomaret (FOGI). Ada 10 lagu di album tersebut, delapan di antaranya merupakan lagu-lagu lama yang pernah ngetop di era 1980-1990-an.

Di tengah ketatnya persaingan, ciri khas menjadi sebuah keharusan. Karena itu, berbeda dengan kelompok penyanyi cewek alias girlband yang saat ini sedang ngetren di belantika musik Tanah Air, Sparkling tak mengandalkan koreografi tarian yang heboh di panggung. Penampilan mereka mengingatkan kita dengan AB Three dan Warna, yang cenderung mengandalkan olah suara sebagai senjata.

"Sparkling ini memang bukan girlband. Mereka grup vokal," kata Trie Utami, pengarah vokal Sparkling.

Manajemen Sparkling tahu persaingan musik saat ini sangat keras. Sejumlah kelompok vokal dan tarian yang berkiblat ke Korea dan Jepang menguasai panggung musik. Namun, di antara grup-grup yang lebih akrab disebut sebagai girlsband dan boysband itu tidak banyak yang mengandalkan tata vokal. Penampilan yang catchy dan gerakan tarian yang rancak lebih menjadi andalan.

"Kami mempunyai ciri khas yang berbeda dengan yang lain. Karena itu, kami optimistis bisa bersaing," kata Gesnia Despriana (19), salah satu personel Sparkling.

Pemilihan lagu-lagu lama dalam album ini bukannya tanpa maksud. Menurut Trie, kelebihan lagu-lagu era tahun 1980-an adalah adanya progresi chord yang lebar pada vokal. Hal itu pas untuk dinyanyikan oleh Sparkling yang mengandalkan vokal. Selain itu, dari sisi bisnis, diharapkan lagu-lagu Sparkling dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Tak hanya anak muda, tetapi juga generasi yang lebih tua.

Pasar luar negeri
Berbeda dengan Sparkling, sejumlah manajemen musik memilih melirik pasar luar negeri untuk menggapai peluang baru.

Ini seperti yang dilakukan PT Trinity Optima Production (TOP) yang akan mengusung 8 artisnya pada Konser Mega Bintang Trinity All Artist di Singapura tanggal 8 Juni 2013. Konser ini melibatkan para musisi yang bernaung di bawah TOP, seperti Rossa, Ungu, Afgan, Sherina, D'Bagindas, Vidi Aldiano, dan Gamma1.

Bagi band seperti Ungu, atau penyanyi Rossa, dan Afgan, tampil di Singapura dan Malaysia sebenarnya bukan hal baru. Beberapa kali mereka konser di negeri jiran tersebut.

"Tetapi dengan konser bersama secara kolaborasi dan besar-besaran seperti ini menjadi nilai lebih bagi kami untuk lebih mengenalkan musik Indonesia ke pasar luar negeri," kata Afgan.

Pemain bas Ungu, Makki Omar Parikesit, mengatakan, sejak penjualan album surut dan nikmatnya kue nada dering atau ring back tone (RBT) raib, panggung menjadi sumber pendapatan utama musisi Indonesia. Untuk band-band papan, atas seperti Ungu, NOAH, GIGI ataupun Nidji, mungkin masih bisa berharap dari penghasilan lain, seperti iklan. Namun, tak semua artis seberuntung mereka sehingga sebagian besar harus berebut.

Sebenarnya, kesempatan tampil di panggung saat ini relatif cukup besar bagi musisi di Tanah Air. Sejumlah perusahaan rokok besar rata-rata mengagendakan rata-rata 3.000 hingga 4.500 helatan panggung musik dalam lima tahun. Artinya, ada ribuan panggung musik komersial yang bisa diikuti oleh musisi dalam negeri.

"Tetapi yang menjadi momok sekarang adalah rencana larangan rokok tak boleh lagi berpromosi. Kalau ini terjadi, akan menjadi pukulan yang lebih hebat lagi," kata Makki.

Karena itu, lanjut dia, mencari terobosan baru, seperti menggelar konser di luar negeri, adalah salah satu upaya menyiasati segala ketidakpastian industri musik dalam negeri. Namun, pada akhirnya masa depan musisi tetap bergantung pada kemampuan masing-masing untuk menjual karya. Sebab, menjual album adalah bisnis dasar bagi band.

"Karena itu, kini kami sedang mencoba bekerja sama dengan selling company, yaitu sebuah perusahaan MLM untuk memasarkan album kami," katanya.

Penyanyi dan pencipta lagu, Pongki Barata, mengatakan, menggandeng perusahaan penjualan saat ini memang tengah menjadi tren dalam industri musik Tanah Air. Hal yang sama dilakukan Sparkling yang menggandeng waralaba untuk mendistribusikan album perdana mereka. Sejumlah artis bahkan menitipkan penjualan albumnya pada franchise makanan cepat saji.

"Kondisi saat ini memang sulit, tetapi saya percaya musik Indonesia tak ambruk. Hanya cara menjualnya yang berubah dan perlu kiat-kiat baru," kata Pongki. (M Burhanudin)

0 komentar:

Posting Komentar